Pertimbangan Mengenai ‘Sikap Sopan’ dalam Putusan Hukum di Indonesia
-
Latar Belakang: Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa hakim dapat mempertimbangkan hal meringankan sebelum memutus suatu perkara, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
-
Pendapat Ahli: Abdul Fickar Hadjar, seorang ahli hukum dari Universitas Trisakti, mengemukakan bahwa sikap sopan seharusnya tidak dijadikan faktor meringankan dalam kasus korupsi dan terorisme. Ia menekankan pentingnya hakim memiliki pemahaman akan aspek psikologis terdakwa.
-
Argumen Abdul Fickar:
-
Agresivitas Terdakwa: Terdakwa kadang bisa bersikap agresif, dan sebaiknya hakim dilengkapi dengan pemahaman psikologis untuk menghadapi hal tersebut.
-
Kedewasaan dan Konteks: Tingkat kedewasaan terdakwa serta konteks pengadilan harus lebih dipertimbangkan daripada sekadar sikap sopan.
-
Kritik terhadap Penilaian ‘Sopan Tidak Sopan’: Abdul menilai penekanan pada sopan atau tidak sopan seringkali mengesankan ketidaktegasan dan kurangnya kedewasaan dari pihak hakim.
-
Kasus Korupsi dan Terorisme: Ia menegaskan bahwa pada kasus-kasus ini, yang relevan adalah bukti dan argumen yang diajukan dalam persidangan, bukan sekadar sikap sopan.
-
Pendapat Mahkamah Agung:
-
Menurut MA: Sikap sopan sebagai pertimbangan meringankan diatur dalam KUHAP, dan hakim diizinkan mempertimbangkannya bersama faktor-faktor lain.
-
Yurisprudensi MA: Alasan kesopanan sebagai faktor meringankan hukuman pidana muncul dalam sejumlah putusan, seperti yang tercantum dalam yurisprudensi berikut:
-
Putusan 2006: Termasuk di antaranya terakdwa berlaku sopan, mengakui perbuatan, belum pernah dihukum sebelumnya, dan menyesali perbuatan.
-
Putusan 2015: Menekankan faktor belum pernah dihukum dan sikap sopan terhadap terdakwa.
Penekanan tetap pada aspek hukum, bukti, dan pertimbangan yang lebih luas dalam menentukan putusan, meskipun kriteria seperti sikap sopan telah menjadi bagian dari pertimbangan hakim.